Muhammad Masykur Izzy Baiquni, Senin 17 Juli 2023
“Kalaulah kita dapat menyimpulkan secara singkat dan sederhana, agakanya kita dapat berkata bahwa wasathiyyah ditandai oleh ilmu/pengetahuan, kebajikan, dan keseimbangan.” Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab.
“Boleh jadi agama menetapkan sesuatu disebabkan oleh kemaslahatan yang diharapkan darinya atau kemudaratan yang mesti ditangkal. Tetapi kendati demikian diperlukan perimbangan menyangkut dampak pilihan karena bisa jadi pilihan tersebut bertentangan dengan tujuan awal dari ketetapan itu. Demikian juga halnya dengan ketetapan tentang larangan agama” Asy-Syathibi (w. 1388 M)
Senang sekali saya bisa hadir di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menghadiri Kajian Literacy Enrichment on Religious Moderation yang dihadiri oleh para tokoh UIN Malang dan Cendekiawan, Ketua Lakpesdam NU sekaligus Kyai yang sangat dikenal memiliki pemikiran yang cerdas yaitu KH. Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) pada hari Selasa 11 Juli 2023. Gus Ulil menyampaikan tentang pendasaran konseptual tentang moderasi beragama. Pendasaran mengenai dimensi dan tentang geneologinya. Pertama berbicara tentang dimensi sudut pandang. Beliau Mencoba melihat moderasi beragama dari dua dimensi. Pertama dimensi kepentingan pemerintah, kedua dimensi masyarakat atau civil society termasuk civitas akademika. Dua dimensi ini sama penting dan saling melengkapi
Moderasi beragama dari dimensi pemerintah bersifat memberikan batasan supaya tidak terjadi benturan dengan menata, menentukan kepentingan regulasi dan mencegak konflik. Ini merupakan respon pemerintah terhadap dinamika global. Tema moderasi beragama dari sudut pandang pemerintah ini bersifat global, di Mesir tema ini diungkapkan dengan nama Wasathiyyatul Islam, di Indonesia temanya lebih menarik karena bukan hanya tentang Islam saja tetapi tentang kehidupan beragama. Yaitu moderasi beragama, bukan moderasi agama. Watak gagasan dari sudut pandang pemerintah lebih bersifat regulative yang bertugas mengatur mencegah instabilitas. Moderasi beragama berarti tentang sikap manusia yang menerapkan agamanya.
Moderasi beragama dari sudut pandang masyarakat, khususnya masyarakat kampus atau masyarakat pendidikan adalah dengan melihat dan mengembangkan eksplorasi gagasan, eksplorasi ilmu, melihat dari susut pandang berbagai pendekatan dan pengayaan keilmuan. Kedua, memahami geneologi asala usul moderasi. Moderasi beragama dari sudut pandang kampus adalah memperkaya dengan wacana-wacana baru, pendekatan-pendekatan keilmuan baru. Tugas civitas akademika adalah tugas peradaban dan memperkaya dinamisasi dengan berbagai pendekatan berbagai ilmu bukan sebagai regulasi. Moderasi beragama bisa diperkaya dengan mengembangkan literasi dan melihat jawaban masalah dari berbagai macam jawaban.
Mencoba memahami Moderasi Beragama tidak bisa lepas dari geneoogi moderasi beragama. Geneologi Moderasi beragama berasal dari gagasan yang dikembangkan oleh umat Islam yang berasal dari gagasan wacana general. Gagasan Moderasi Beragama bisa bersumber dari geneologi yakni Pertama, berasal dari kompromi politik. Kedua gagasan dari Umat Islam, hal ini bisa dibedah menjadi beberpa poin tahapan.
Satu: gagasan moderasi beragama yang berasal dari pemikiran para Kyai Pesantren, lebih spesifiknya adalah para kyai NU yang menjadi beberapa tahapan waktu dimulai dari terbentuknya rumus besar ketika muktamar NU di Situbondo yaitu final filosofi menerima NKRI dalam teks yang sering didengar adalah NKRI Harga Mati. Tahapan berikutnya adalah gagasan dari KH. Ahmad Shiddiq tentang tiga ukhuwah, dan tahapan ketiga adalah gagasan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang gagasan beliau bernama “Pribumisasi Islam”. Pribumisasi Islam merupakan trade mark intelektualitas Gus Dur.
Syaiful Arif dalam Buku Humanisme Gus Dur menyatakan bahwa Gus Dur bukan hanya “Bapak Pluralisme” tetapi juga adalah “Bapak kemanusiaan” karena pluralisme Gus Dur merupakan salah satu komitemen Gus Dur atas kemanusiaan. Keharmonisan Gus Dur dengan umat agama lain mencerminkan perhatiannya atas perjuangan pembentukan masyarakat yang adil, dalam rangka demokratisasi Indonesia. Tujuan dari pribumisasi Islam adalah peleraian ketegangan antara agama dan budaya yang tidak akan terjadi pada proses Arabisasi Islam. Gus Dur menurut Syaiful Arif mendaulat “Penyelamatan kemanusiaan” sebagai tolok ukur utama ditengah pergulatan agama dan budaya, nilai-nilai kemanusiaan sangat dijunjung tingi. Hal ini terjadi karena substansi dari Pribumisasi Islam itu sendiri adalah kontekstualisasi Islam.
Dua: Geneologi yang berasal dari para reformis seperti Muhammad Abduh dan Muhammad rasyid Ridho dan Muhammadiyah yang mengususng konsep Negara Ada Karena Adanya Perjanjinan. Tiga: Geneologi moderasi beragama yang berasal dari para intelektual pembaharu seperti Nurkholish Madjid (Cak Nur) dengan konsep Islam Inklusif.
Berpikir tentang moderasi beragama di Indonesia, bisa jadi sedikit berbeda -ini karena kedangkalan pengetahuan dan pemahaman saya sebagai penulis- saya teringat Buku Wasathiyyah Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama yang ditulis oleh alumni Universitas Al Azhar Mesir dan sekaligus seorang mufassir yang sangat terkenal yaitu Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Beliau (Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab) menukil penjabaran dari cendekiawan Mesir Sayyid Quthub (1906-1966 M) bahwa membahas hakikat wasathiyyah (moderasi) perlu digarisbawahi terlebih dahulu bahwa Islam itu sendiri adalah moderasi-yakni semua ajarannya bercirikan moderasi karena itu penganutnya juga harus bersikap moderat. Ia mesti moderat dalam pandangan dan keyakinannya, moderat dalam pemikiran dan perasaannya, moderat dalam keterikatan-keterikatan.
Di dalam Bab tentang Bagaimana Menerapkan Wasathiyyah? Habib Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam menerapkan moderasi, Kita memerlukan pengetahuan mengenai: Satu, Fiqh Al-Maqashid yang menuntut penelitian tentang ‘illah (latar belakang atau sebab) dari satu ketetapan hokum bukan sekedar pengetahuan tentang bunyi teksnya. Dua, Fiqh Al-Awlawiyat yakni kemampuan memilih apa yang terpenting dari yang penting dan yang penting dari yang tidak penting. Tiga, Fiqh Al-Muwazanat yakni kemampuan membandingkan kadar kebaikan atau kemaslahatan untuk dipilih mana yang lebih baik. Empat, Fiqh Al-Ma’alat yaitu tujuannya meninjau dampak dari pilihan, apakah mencapai target yang diharapkan atau justru sebaliknya menjadi kontra produktif dan lain-lain berkaitan dengan dampak kebijakan.
Masih menurut Habib Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, penerapan wasathiyyah dalam kehidupan pribadi dan masyarakat diperlukan upaya serius yang dikukuhkan oleh: Satu, pengetahuan/pemahaman yang benar. Dua, emosi yang seimbang dan terkendali. Tiga, kewaspadaan dan kehatihatian berkesinambungan. Secara gambling beliau berkata “Kalaulah kita dapat menyimpulkan secara singkat dan sederhana, agakanya kita dapat berkata bahwa wasathiyyah ditandai oleh ilmu/pengetahuan, kebajikan, dan keseimbangan.”
Wallahu a’lam
Ahad, 16 Juli 2023. 22. 30 wib