Keberaksaraan Sebagai Kebebasan

Keberaksaraan Sebagai Kebebasan

Oleh: Muhammad Masykur Izzy Baiquni

Kalau ingin maju, tidak boleh puas dengan apa yang ada

KH. Imam Zarkasyi, Gontor

Nahdlatul Ulama memiliki tokoh tokoh yang hebat, dalam hal ini penitikberatan yang penulis maksud adalah literasi. Sejarah tidak akan menolak bilamana Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ma’shum Lasem, KH. Bisri Musthofa, KH. Mahfud Salam, KH. Sahal Mahfud, KH. Maimoen Zubair, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Tolhah Hasan, KH. Muchid Muzadi, KH. Ahmad Mustafa Bisri, sampai kepada KH. Said aqil Siradj adalah tokoh yang sangat dikenal memiliki budaya literasi yang luar biasa, serta banyak tokoh lainnya yang tidak bisa penulis tuliskan semuanya.

                Sebagai contoh, dalam Buku Kiai-Kiai Kharismatik dan Fenomenal dijelaskan bahwa KH. Sahal Mahfud memiliki minat baca sangat tinggi. Koleksi buku KH. Sahal Mahfud mencapai 1800-an di rumahnya. “Meskipun seorang kiai, beliau tidak hanya membatasi buku bacaannya pada kitab agama. Namun, Beliau juga memiliki banyak buku dengan berbagai tema, mulai dari psikologi sampai novel detektif” (Rokhim, 2015:180).

Sejak mulai disahkannya struktur kepengurusan LP Ma’arif Kabupaten Malang, penulis dan tim mendapat mandat untuk mengembangkan literasi diberbagai madrasah/sekolah Kabupaten Malang sampai masa kepengurusan selesai. Menurut penulis, tugas ini lumayan berat atau kalau boleh dibilang berat karena bisa kita ketahui bahwa literasi di Indonesia terbilang rendah.

Bicara tentang madrasah dan literasi, Madrasah adalah manifestasi amal NU bagi masyarakat dan merupakan saluran pengembangan Islam Aswaja. Ma’arif biasanya menangani pendidikan formal. Banyak sekali lembaga pendidikan warga NU yang bernaung di bawah lembaga pendidikan Ma’arif sehingga eksistensi Ma’arif sangat strategis bagi dinamisasi lembaga pendidikan NU (Asmani, 2021:154)

Salah satu tujuan besar LP Ma’arif yakni membangun peradaban memang tidak bisa lepas dari literasi. Bila kita kembali ke masa lalu bahwa peradaban manusia dimulai dengan kemampuan manusia untuk menciptakan litera, yaitu huruf. Litera dapat bermakna harfiah, seperti misalnya huruf dalam tulisan latin dapat bermakna simbol sebagaimana yang bisa kita temui dalam huruf-huruf Mesir Kuno, Tiongkok, dan Jepang, bahkan bisa pula bermakna berbagai gambar dalam gua-gua jaman dahulu kala.

Sastrawan dan Guru Besar Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, Budi Dharma, menjelaskan bahwa istilah “litera” sendiri sebetulnya baru muncul pada waktu Peradaban Romawi Kuno mendominasi dunia pemikiran, jauh sesudah manusia mampu menciptakan gambar di gua-gua jaman dahulu kala. Namun, istilah “litera”  sekali lagi baru muncul pada jaman Romawi Kuno, pada saat bahasa Latin dipakai sebagai Lingua Franca dalam dunia “modern”, dan kemudian terpencar menjadi dua puluh empat bahasa-bahasa resmi Eropa, atau, khususnya bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Spanyol, yang kemudian menjadi raja-raja dalam komunikasi internasional. Karena itulah, meskipun “litera” relatif baru, istilah ini dianggap sebagai patokan baku.

Literasi kemudian menjadi gerakan bersama yang dicanangkan oleh UNESCO pada tahun 2003-2013 sebagai dasawarsa literasi PBB (United Nations Literacy Decade). Kemudian UNESCO pada tahun 2005-2015 mencanangkan Prakarsa Literasi bagi Pemberdayaan (Literacy Intiative for Empowerment, LIFE) deangan mengangkat tema Keberaksaraan sebagai Kebebasan. Kesadaran pentingnya literasi dicanangkan PBB dan kemudian diteruskan oleh Negara-negara lain di dunia.

Perkembangan selanjutnya dalam kata “litera” muncullah kata “literate” yaitu mampu membaca dan “illiterate” yaitu tidak mampu membaca dan sering disebut sebagai buta huruf. Dengan kemampuan membaca maka seseorang dalam konteks disini bisa jadi siswa, mahasiswa, dan pendidik bisa memahami bacaan dan karena itu pengetahuan dan wawasannya menjadi luas. Akibat berikutnya adalah siswa, mahasiswa dan pendidik mampu mengeluarkan pendapat, komentar dan analisis dari apa yang dia pahami dari bacaannya. Kemudian dari sinilah muncul berbagai macam literasi, misal literasi dasar, literasi perbankan, literasi budaya dan lainnya.

Salah satu target pengembangan LP Ma’arif adalah di literasi pendidikan. Sebab literasi pendidikan banyak bicara tentang etika, moral, norma, dan semua hal yang berada di bawah naungan dunia pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat dan negara yang memiliki kemampuan literasi yang baik, maka tata kehidupan bisa berkembang baik pula, mulai dari segi pendidikan, budaya ekonomi, dan teknologi. Secara khusus, Prof Sarwiji Suwandi menjelaskan bahwa literasi terkait dengan kegiatan: Pertama, membaca sebagai sarana untuk memahami informasi dan ilmu pengetahuan; Kedua, berpikir dalam mengembangkan informasi dan ilmu pengetahuan dalam memahami kehiduipan lebih eksploratif dan elaboratif; Ketiga, berkarya dan bersikap dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan pemahaman ilmu pengetahuan  dan informasi dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis menyadari bahwa pengembangan literasi di Kabupaten Malang tidak hanya ada di divisi literasi LP Ma’arif. Karena berbicara gerakan literasi madrasah/sekolah, harus dimulai dari literasi keluarga, dan juga literasi masyarakat, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Disebabkan bahwa Gerakan Literasi bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah, akademisi, penerbit, media massa, masyarakat, dan pemangku kepentingan.

Peran keluarga sangat besar dalam pengembangan literasi, orang tua bisa menumbuhkan minat dan budaya membaca anak dengan: Satu, memperkenalkan buku sejak dini; dua, memudahkan jangkauan buku; Tiga, membuat perpustakaan sekolah; Empat, menunjukkan arti penting menghargai buku; Lima, Mendongeng atau membacakan buku cerita; Enam, memberikan teladan membaca; Tujuh, mengajak rekreasi edukatif; Delapan, meminta anak bercerita dan berdialog; Sembilan, meminta anak bereksperimen; Sepuluh, memberi kesempatan mengarang.

Madrasah dan guru juga mengambil peran besar dengan menyediakan pojok buku di ruang kelas; melakukan kampanye membaca; dan meningkatkan kemampuan membaca siswa. Madrasah dan guru berperan aktif dalam meningkatkan kebiasaan dan budaya literasi bagi para siswanya.

Literasi tidak hanya dipahami sebagai lawan dari buta aksara atau sekedar bisa membaca dan menulis teks, namun juga berisi minimal empat kompetensi yaitu kompetensi kreatif dan inovatif, kritis, komunikatif, dan kolaborasi. Kenyataan yang tidak bisa dinafikan bahwa Negara-negara maju yang berkembang pesat dan memiliki peradaban maju adalah Negara-negara yang memiliki budaya literasi bagus. Literasi memiliki peran penting dalam memajukan suatu Negara. Dan literasi adalah tanggung jawab kita bersama.

Wallahu a’lam

Sabtu, 17 Desember 2022

07: 30 wib

Post Comment