humaslp2 weeks ago Learning, Opini
Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah. M.Pd.I
Dosen FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang; Ketua LP Ma’arif Kabupaten Malang
Pendidikan Islam telah meletakkan prinsip yang mendasar untuk menghasilkan manusia paripurna yaitu manusia yang selamat dan berkembang intelektual, jiwa dan raganya. Pendidikan Islam lebih memperhatikan untuk menyelamatkan fitrah manusia yaitu manusia yang lebih berorientasi pada potensi hakiki manusia yaitu spiritual. Bermula dari potensi spiritual inilah Islam meyakini bahwa intelektual, jiwa dan raga akan mampu berkembang dengan baik sesuai dengan fitrah (ciptaan) nya.
Kyai Masykur merupakan sosok manusia yang melandasi tindakannya dengan spiritualitas, sehingga setiap gerak dan tindakannya untuk memperjuangkan pendidikan di wilayah Singosari yang pada saat itu masih belum memiliki branding sebagai kota Santri akhirnya lambat laun berubah menjadi kota santri sampai saat ini. Dengan prinsip spiritualitasnya yang baik, kyai Masykur mulai mengamalkan ilmu yang beliau peroleh dari pondok pesantren yang syarat dengan muatan spiritualitas kemudian rasa ikhlas tumbuh, dimana keihlasan itu akhirnya menjadi sumber kekuatan beliau untuk mengembangkan lembaga pendidikan di desa Pagentan Singosari. Kyai Masykur dididik oleh ayahnya, kemudian dilanjutkan ke Pesantren, sejak usia 10 tahun Masykur sudah keluar masuk pondok sampai usia 27[1] bahkan tidak hanya satu pesantren saja akan tetapi delapan pesantren yaitu antara lain; Bungkuk yang di asuh oleh Kyai Tohir disana Masykur belajar ilmu qiraatul qur’an, gramatika arab (nahwu-saraf) dan kitab elementer lainnya, kemudian Masykur melanjutkan ke Sono, Siwalan Panji untuk belajar Fiqh, Mangunsari, Tebu Ireng disana Masykur belajar ilmu Tafsir dan ilmu hadis, Bangkalan yang diasuh oleh KH Kholil, Masykur belajar ilmu qiraatul qur’an, Jamsaren (Mambaul Ulum), Penyosogan, Kresek dan Ngamplang.[2]
Riwayat pendidikan kyai Masykur dan korelasinya dengan gerakan yang dia lakukan tergolong unik, karena kyai Masykur memang diarahkan ke arah pendidikan agama yaitu pesantren meskipun ayah kyai Masykur tergolong mampu menyekolahkannya ke sekolah formal yang saat itu dikembangkan oleh pemerintah Belanda[3], akan tetapi perjuangan kyai Masykur di dunia pendidikan tidak hanya murni pendidikan agama saja, akan tetapi juga perjuangan pada gerakan melek huruf bagi masyarakat umum. Pada saat itulah kyai Masykur mencoba untuk melakukan gerakan literasi yang tidak hanya ditujukan untuk masyarakat umum akan tetapi juga khusus para wanita yang masih dalam posisi terjajah dengan membawa argumen dari hadis Nabi Muhammad SAW yaitu “Menuntut Ilmu itu Fardu atas Muslim laki-laki dan Perempuan”. Masykur muda terus konsisten memajukan kaum wanita di samping kaum pria.[4]
Pengalamannya belajar di Pesantren yang memiliki tradisi akademik semakin memposisikan beliau menjadi salah satu pioner utama dalam perjuangan untuk melakukan gerakan literasi pada masyarakat yang masih dalam cengkaraman penjajah Belanda. Gerakan literasi ini kemudian menghasilkan kecakapan dan kompetensi masyarakat menuju masyarakat yang terbebas dan merdeka. Ada pesan yang substansi dengan adanya gerakan literasi yang digagas oleh KH Masykur itu sebenarnya gerakan pencerahan masyarakat yang masih memiliki kesadaran mistis menuju masyarakat yang realistis dan rasionalis. Ide-ide realistis dan rasionalis masyarakat itu akhirnya menghasilkan gerakan kemerdekaan untuk bisa mengakses pendidikan.
Salah satu bentuk komitmen kyai Masykur di dunia pendidikan selain gerakan melek huruf, maka kyai Masykur juga mendirikan lembaga pendidikan pada tahun 1923 yang diberi nama Misbahul Watan di kotanya sendiri yaitu Singosari yang nanti akan menjadi cikal bakal yayasan al-Maarif Singosari Malang.[5] Madrasah itu pada awalnya masih sederhana saja, akan tetapi berkat ketekunan Masykur dalam mengelola Pendidikan itu akhirnya banyak murid yang mendaftarkan diri untuk bisa belajar agama di Madrasah tersebut. Di masa penjajahan agaknya menjadi salah satu tantangan Masykur untuk mengembangkan madrasahnya itu, salah seorang asisten wedana atau camat setempat melarang Masykur melanjutkan pengajarannya. Hampir tiap hari ia selalu mendapatkan gangguan, sering dipanggil sehingga banyak masyarakat yang takut menyekolahkan putranya ke tempat pendidikan dimana Masykur telah merintisnya.[6]
Melihat gelagat madrasah yang didirikan Masykur mulai tidak bisa berkembang secara konsisten ini, maka melalui proses perjuangan yang panjang bahkan sampai diberikan isyarat dalam mimpinya untuk naik perahu kecil menuju ke tengah laut mendekati sebuah kapal besar. Tak berapa lama, naiklah ia ke perahu itu, di ruang tengah kapal ada dua orang tengah duduk-duduk diatas kursi mendiskusikan sesuatu ada yang bilang bahwa kedua orang tersebut adalah KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasbullah. Masykur kemudian pergi menemui gurunya KH Hasyim Asyari dan meceritakan mimpinya tersebut kemudian KH Hasyim Asyari memerintahkan untuk bertemu dengan KH Wahab Hasbullah. Setelah bertemu KH Wahab Hasbullah kemudian Masykur diperintahkan untuk merubah nama Madrasah Misbahul Wathan menjadi Madrasah Nahdatul Wathan sebagai cabang dari Surabaya. Berkat kebesaran nama KH Wahab Hasbullah itulah kemudian Masykur mengembalikan kejayaan madrasah yang telah dirintisnya itu.[7]perubahan nama ini ternyata membawa angin baru bagi madrasahnya. Penguasa Belanda tidak lagi pernah memanggil Masykur ke kantornya. Ini ternyata disebabkan bahwa salah seorang pengurus NW di Surabaya ada nama mas Sugeng, sekretaris Pengadilan Tinggi Pemerintah Hindia Belanda.[8]
Dedikasinya di bidang pendidikan, masih ditunjukkan meskipun usianya sudah senja dengan menjabat sebagai dewan kurator PTIQ, salah seorang pendiri Universitas Islam Indonesia (UII) di Jogja, dan menjadi Ketua Yayasan UNISMA bahkan beliau adalah pendirinya[9] yang sekarang memiliki ribuan murid dan mahasiswa dari TK hingga perguruan tinggi.[10]Pada tanggal 1 Desember 1988 Kyai Masykur meresmikan Kantor Madrasah Aliyah al-Maarif Singosari untuk secara resmi digunakan.
Gb. Peresmian Kantor Madrasah Aliyah al-Maarif Singosari oleh Kyai Masykur
Secara ekplisit sebenarnya kyai Masykur mendambakan pendidikan Islam harus berkembang dari pesantren, karena pesantren merupakan cerminan kekuatan masyarakat desa yang langsung dimbing oleh para ulama’. Dalam salah satu dialog beliau menuturkan “sejaka dahulu Ulama’ merupakan pimpinan masyarakat. Oleh karena itu gerakan ulama’ sekaligus menjadi gerakan rakyat”. Kemudian kyai Masykur juga memberikan landasan kepada ulama’ setelah memperoleh kemerdekaan bangsa Indonesia, belia menuturkan bahwa “Pancasila dan UUD 45 merupakan landasan yang telah kita letakkan bersama. Sudah saya kemukakan di muka bahwa kaum Ulama’ mempunyai peranan besar dalam meletakkan landasan yang kuat. Tugas-tugas yang dibebankan oleh GBHN terutama di bidang keagamaan dan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspirasi kaum Ulama’”.[11]
Berangkat dari fakta sejarah diatas bisa tarik satu teori yang menyatakan bahwa Pendidikan Islam itu sebenarnya bagaimana upaya membebaskan masyarakat dari keterkungkungan yang datang dari luar (dalam hal ini penjajah) dan keterkungkungan yang datang dari dalam. Pendidikan Islam harus digerakkan langsung oleh para ilmuwan (dalam hal ini adalah ulama’) sebagai pengemban risalah setelah nabi Muhammad SAW (Pewaris para nabi) yang memiliki hikmah untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih baik.
Kemudian ada teori manajemen pendidikan yang menarik untuk dikaji yaitu bagaimana KH Masykur mampu mempertahankan lembaga pendidikannya yang akan gulung tikar menjadi lembaga yang bertahan bahkan sampai sekarang menjadi lembaga yang maju dan memiliki pelanggan loyal. Teori yang bisa ditarik yaitu daya tahan lembaga pendidikan Islam bisa sangat kuat ketika pengambilan keputusan melibatkan stakeholder dari dalam dan luar. Adapun stakeholder dari luar harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kharisma di masyarakat dan orang-orang yang memiliki pengaruh di pemerintahan. Tujuan melibatkan orang-orang yang memiliki kharisma di masyarakat adalah membangun kepercayaan (trust building) bahwa lembaga pendidikan tersebut betul-betul lembaga yang memiliki kualitas, sedangkan keterlibatan orang-orang yang memiliki pengaruh di pemerintahan digunakan untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan proses pendidikan di lembaga pendidikan tersebut.
Daftar Pustaka
Syamsi,Indra. KH. Masjkur: Pemimpin Empat Generasi. tt; Hiwar, 1989
Cholliq, Ahmad. KH Masykur, Tokoh Paling Akhir Pendiri RI. tt; AULA, 1993
Ayundasari,Lutfiyah. KH Masykur dalam Sejarah Pendidikan Islam Modern di Indonesia 1923-1992. Malang; UM Press, 2018
Bambang. Sang Penengah KH Masykur Telah Tiada. Jakarta; Kompas, 1992
Baidlawi, Masduki. Menapak Sejarah Hidup KH. Masykur.tt; Aula, 1985
Subagijo. KH Masykur, Sebuah Biografi . Jakarta; Gunung Agung, 1982
Azzam, Abu. KH Masykur Kiai Politisi Sudah Tiada. tt; Suara Masjid, 1993
[1] A Cholliq, KH Masykur, Tokoh Paling Akhir Pendiri RI (tt; AULA, 1993), 35
[2] Indra Syamsi, KH. Masjkur: Pemimpin Empat Generasi (tt; Hiwar, 1989), 20
[3] Lutfiyah Ayundasari, KH Masykur dalam Sejarah Pendidikan Islam Modern di Indonesia 1923-1992 (Malang; UM Press, 2018), 17
[4] Bambang, Sang Penengah KH Masykur Telah Tiada (Jakarta; Kompas, 1992)
[5] Dalam salah satu sumber dinyatakan bahwa sekitar tahun 1924-1926 kyai Masykur bersama Fatimah muda, mulai merintis pesantren putri di samping putranya di pondok pesantren Bungkuk Singosari. Bambang, Sang Penengah, 1992
[6] Masduki Baidlawi, Menapak Sejarah Hidup KH. Masykur (tt; Aula, 1985), 47
[7] Masduki Baidowi, Menapak Sejarah Hidup KH Masykur, 1985
[8] Subagijo, KH Masykur, Sebuah Biografi (Jakarta; Gunung Agung, 1982), 20
[9] Abu Azzam, KH Masykur Kiai Politisi Sudah Tiada (tt; Suara Masjid, 1993)
[10] Indra Syamsi, KH Masykur, 20
[11] KH Masykur, Gerakan Ulama’ adalah Gerakan Rakyat (tt; Serial Media Dakwah, tt), 62